Additive adalah susunan bahan bahan atau kombinasi bahan tertentu yang sengaja ditambahkan ke dalam ransum
pakan ternak untuk menaikkan nilai gizi pakan guna memenuhi kebutuhan khusus
atau imbuhan yang umum digunakan dalam meramu pakan ternak. Murwani et al.,
(2002) menyatakan bahwa additive adalah bahan pakan tambahan yang diberikan
pada ternak dengan tujuan untuk meningkatkan produktifitas ternak maupun
kualitas produksi. Sedangkan menurut Murtidjo (1993), additive adalah imbuhan
yang umum digunakan dalam meramu pakan ternak. Penambahan bahan biasanya hanya
dalam jumlah yang sedikit, misalnya additive bahan konsentrat, additive bahan
suplemen dan additive bahan premix. Maksud dari penambahan adalah untuk
merangsang pertumbuhan atau merangsang produksi. Macam-macam additive antara
lain antibiotika, hormon, arsenikal, sulfaktan, dan transquilizer.
Feed additive merupakan
bahan makanan pelengkap yang dipakai sebagai sumber penyedia vitamin-vitamin,
mineral-mineral dan atau juga antibiotika (Anggorodi, 1985). Fungsi feed
additive adalah untuk menambah vitamin-vitamin, mineral dan antibiotika dalam
ransum, menjaga dan mempertahankan kesehatan tubuh terhadap serangan penyakit
dan pengaruh stress, merangsang pertumbuhan badan (pertumbuhan daging menjadi
baik) dan menambah nafsu makan, meningkatkan produksi daging maupun telur.
Imbuhan Pakan (feed additives)
adalah setiap bahan yang tidak lazim dikonsumsi ternak sebagai pakan, yang
dengan sengaja ditambahkan, memiliki atau tidak memiliki nilai nutrisi, dapat
mempengaruhi karakteristik pakan atau produk hewan. bahan tersebut meliputi
microorganisme, enzim, pengatur keasaman, mineral, vitamin, dan bahan lain
tergantung pada tujuan penggunaan dan cara pemakaiannya. Menurut Murwani et. al. (2002) additive adalah bahan pakan tambahan yang diberikan pada ternak dengan
tujuan untuk meningkatkan produktifitas ternak maupun kualitas produksi. Zat
additive yang diberikan pada ternak digolongkan menjadi 4, yaitu :
- vitamin tambahan
- mineral tambahan
- antibiotik
- anabolik (hormonal)
Macam ragam pakan additive
antara lain additive pada bahan pakan (contohnya agensia antioksidan, agensia
cita rasa), additive untuk manipulasi pencernaan dan absorpsi nutrien
(contohnya buffer, enzim), additive untuk kesehatan ternak (contohnya obat
cacing), additive melalui hormonal (contohnya hormon pertumbuhan, hormon
reproduksi), additive untuk meningkatkan kualitas produk (contohnya agensi
pewarna, agensi antiradikal).
Berbagai macam feed additive yang
bersifat non nutritive menurut Wahju (1997) antara lain:
1. Makanan tambahan pelengkap untuk
memperbaiki tekstur dan kekuatan pakan pellet
2. Flavoring agent yaitu zat pemberi
bau enak yang dipergunakan untuk meningkatkan palatabilitas pakan
3. enzim-enzim yang memperbaiki daya
cerna di bawah kondisi tertentu
4. Antibiotika, senyawa-senyawa arsen
dan nitrofurans dipergunakan pada tingkat rendah untuk melindungi pakan dari
serangan perusakan oleh mikroorganisme dan mencegah timbulnya keracunan yang
disebabkan oleh mikroflora dalam usus.
5. Antibiotika yang mempunyai spektrum
luas (broad spectrum) dan daya absorpsi yang baik ditambahkan ke dalam pakan
untuk memerangi penyakit khusus.
6. Senyawa-senyawa kimia tertentu
dipergunakan untuk meningkatkan daya penyembuhan dari antibiotika terhadap penyakit
7. obat-obat pencegah cacing dalam
saluran pencernaan
8. Antioksidan untuk mencegah kerusakan
asam-asam lemak yang tidak jenuh dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak
karena proses peroksidasi
9. Sumber-sumber karotenoid ditambahkan
dalam pakan untuk memperbaiki pigmentasi dari broiler dan kuning telur
10. Hormon-hormon yang digunakan untuk memperbaiki
metabolisme ayam antara lain :
a. Estrogen untuk memperbaiki
pertumbuhan
b. Senyawa-senyawa thyroaktif untuk
memperbaiki produksi telur, kualitas telur, kualitas kulit telur dan mencegah
degenerasi lemak pada kondisi tertentu.
c. hormon untuk menghentikan molting
(jatuh bulu).
Feed
Additive merupakan bahan makanan tambahan
pelengkap yang diberikan dengan beberapa tujuan diantaranya :
a. Memperbaiki kondisi
fisik ransum, terutama yang dibuat pellet, baik dari segi warna maupun tekstur
ransum. Contohnya ialah bentonit. Warna dan tekstur ransum yang baik akan
meningkatkan feed intake (nafsu makan, red)
b. Memberikan aroma atau
bau khas dari ransum (flavoring agent)
sehingga palatabilitas atau rasa kesukaan terhadap ransum meningka
c. Memperbaiki atau
meningkatkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi dari ransum. Beberapa
feed additive yang berperan
dalam hal ini ialah
Beberapa
jenis imbuhan pakan yang diberikan pada ternak
A. Enzim
Enzim merupakan senyawa protein yang
berfungsi sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi pemecahan
senyawa-senyawa yang komplek menjadi sederhana. Saat ini telah terindentifikasi
lebih kurang 3000 enzim. Walaupun dalam tubuh makhluk hidup enzim dapat
diproduksi sendiri sesuai dengan kebutuhan, penambahan enzim pada pakan kadang
kala masih dibutuhkan. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti antinutrisi
faktor pada bahan pakan (lekctins dan trypsin inhibitor), rendahnya efesiensi
kecernaan bahan pakan, dan ketidak tersediaan enzim tertentu dalam tubuh
ternak. Xylanase dan Ć-glucanase adalah contoh-contoh enzym yang digunakan pada
ternak monogastrik untuk meningkatkan daya cerna ternak. Rendahnya kemampuan
ternak muda untuk mencerna protein pada kacang kedele (glycin dan Ć-conglycin)
dapat diatasi dengan penambahan enzim protease.
Enzim merupakan
katalisator yang berperan mempercepat suatu reaksi kimiawi. Enzim phytase mulai
banyak digunakan peternak yang berperan memecah ikatan phytate pada bahan
ransum nabati, seperti jagung sehingga ketersediaan fosfor bisa meningkat.
Kerja enzim ini akan optimal apabila jenis enzim sesuai dengan substratnya,
kondisi lingkungan dan kesesuaian dosisnya.
Jenis-Jenis Enzim Dalam Industri Pakan Ternak
Terdapat empat type enzim yang mendominasi pasar pakan ternak
saat ini yaitu enzim untuk memecah serat, protein, pati dan asam pitat (Sheppi,
2001).
1.
Enzim Pemecah Serat
Keterbatasan utama dari pencernaan hewan
monogastrik adalah bahwa hewan-hewan tersebut tidak memproduksi enzim untuk
mencerna serat. Pada ransum makanan ternak yang terbuat dari gandum, barley,
rye atau triticale (sereal viscous utama), proporsi terbesar dari serat ini
adalah arabinoxylan dan Ć-glucan yang larut dan tidak larut (White et al.,
1983; Bedford dan Classen, 1992 diacu oleh Sheppy, 2001). Serat yang
dapat larut dan meningkatkan viskositas isi intestin yang kecil, mengganggu
pencernaan nutrisi dan karena itu menurunkan pertumbuhan hewan.
Kandungan serat pada gandum dan barley sangat
bervariasi tergantung pada varitasnya, tempat tumbuh, kondisi iklim dan
lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan variasi nilai nutrisi yang cukup
besar di dalam ransum makanan. Untuk memecah serat, enzim-enzim xylanase
dan Ć-glucanase) dapat menurunkan tingkat variasi nilai nutrisi pada ransum dan
dapat memberikan perbaikan dari pakan ternak sekaligus konsistensi responnya
pada hewan ternak. Xylanase dihasilkan oleh mikroorganisme baik bakteri
maupun jamur.
Penelitian pemanfaatan xilanase untuk
membuat ransum ayam boiler telah dilakukan oleh Van Paridon et al. (1992),
dengan melihat penga-ruhnya terhadap berat yang dicapai dan efisiensi konversi
makanan ser-ta hubungannya dengan viskositas pencernaan. Hal yang sama juga
di-lakukan oleh Bedford dan Classen (1992), yang melaporkan bahwa ransum
makanan ayam boiler yang diberi xilanase yang berasal dari T.longibrachiatum
mampu mengurangi viskositas pencernaan, sehingga meningkatkan
pencapaian berat dan efisiensi konversi makanan.
Pius P Ketaren, T. Purwadaria dan A. P Sinurat
dari Balai Penelitian Ternak, Bogor, juga melakukan penelitian yang bertujuan
untuk melihat pengaruh suplementasi enzim pemecah serat kasar terhadap
penampilan ayam pedaging. Suplementasi diberikan dengan menambahkan enzim
xilanase kedalam ransum basal dedak atau polar. Penelitian ini menggunakan 120
anak ayam pedaging umur sehari yang dialokasikan secara acak kedalam 20 kandang
yang masing-masing berisi 6 ekor. Ayam-ayam tersebut dikenai 4 perlakuan.
Perlakuan I, ayam diberi ransum basal 30% dedak (RBD). Perlakuan II, ransum RBD
+ 0,01% enzim xilanase (RBD + E). Perlakuan III diberi ransum basal 30% polar
(RBP) dan perlakuan IV dengan ransum RBP + 0,01% enzim xilanase (RBP + E).
Setiap perlakuan diulang 5 kali dan tiap ulangan terdiri dari 6 ekor. Seluruh
kandang/pen ditempatkan dalam bangunan tertutup yang dilengkapi dengan lampu
penerang, pemanas dan pengatur sirkulasi udara, yang diatur sesuai dengan
kebutuhan. Sedangkan ransum dan air minum disediakan secara tak terbatas. Anak
ayam juga divaksin pada umur 4 dan 21 hari untuk mencegah ND dan pada umur 14
hari untuk mencegah Gumboro. Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan (PBB),
feed conversion ratio (FCR) dan mortalitas digunakan sebagai parameter dan
diukur setiap minggu selama 5 minggu perlakuan.
Hasil riset memperlihatkan PBB ayam
pedaging yang diberi ransum basal polar dengan suplementasi enzim cenderung
tumbuh lebih cepat dibanding ayam pedaging yang memperoleh ransum lain. Dalam
penelitian ini, suplementasi enzim xilanase sebanyak 0,01% kedalam ransum basal
dedak maupun polar tidak berpengaruh negatif terhadap penampilan broiler. Hal
ini tampak dari tidak adanya mortalitas selama penelitian berlangsung. FCR ayam
pedaging yang diberi ransum basal polar dengan suplementasi enzim secara nyata
lebih baik dibanding ransum FCR ayam pedaging yang diberi ransum lain.
Berdasarkan penampilan ayam pedaging
tersebut terlihat bahwa suplementasi enzim kedalam ransum basal polar mampu
meningkatkan efisiensi penggunaan ransum sekitar 4%, sebaliknya suplementasi
enzim kedalam ransum basal dedak tidak mampu memperbaiki efisiensi penggunaan
ransum ayam pedaging. Ini membuktikan bahwa enzim xilanase yang digunakan dalam
penelitian ini lebih efektif apabila digunakan pada polar, yang diketahui
mengandung lebih banyak xilan/pentosan atau glucan dibanding dedak.
Peningkatan penampilan ayam pedaging yang
diberi ransum basal polar dengan suplementasi enzim xilanase ini, kemungkinan
juga berkaitan dengan peningkatan kecernaan protein dan lemak disamping
kenaikan kecernaan serat kasar. Dengan peningkatan kecernaan gizi dan
pertumbuhan unggas tersebut, dapat mendorong peningkatan penggunaan bahan pakan
lokal yang tersedia di dalam negeri. Kondisi ini diharapkan akan mampu
meningkatkan kemandirian perunggasan nasional.( www.poultryindonesia.com)
2.
Enzim Pemecah Protein
Berbagai bahan mentah yang digunakan sebagai
bahan pakan ternak mengandung protein. Terdapat variasi kualitas dan
kandungan protein yang cukup besar dari bahan mentah yang
berbeda. Dari sumber bahan protein primer seperti kedelai, beberapa
faktor anti nutrisi seperti lectins dan trypsin inhibitor dapat memicu
kerusakan pada permukaan penyerapan, karena ketidaksempurnaan proses
pencernaan. Selain itu belum berkembangnya sistem pencernaan pada hewan
muda menyebabkan tidak mampu menggunakan simpanan protein yang besar di dalam
kedelai (glycin dan Ć-conglycinin).
Penambahan protease dapat membantu menetralkan
pengaruh negatif dari faktor anti-nutrisi berprotein dan juga dapat memecah
simpanan protein yang besar menjadi molekul yang kecil dan dapat diserap.
3.
Enzim pemecah Pati
Jagung merupakan sumber pati yang sangat baik
sehingga para ahli gizi menyebutnya sebagai bahan mentah standard emas.
Sebagian besar ahli gizi tidak mempertimbangkan pencernaan jagung adalah jelek:
kenyataannya bahwa 95 % dapat dicerna. Namun hasil penelitian Noy
dan Sklan (1994) yang diacu oleh Sheppi (2001), pati hanya dicerna tidak lebih
dari 85 % pada ayam broiler umur 4 dan 21 hari. Penambahan enzim amylase
pada makanan ayam dapat membantu mencerna pati lebih cepat di intestin yang
kecil dan pada gilirannya dapat memperbaiki kecepatan pertumbuhan karena adanya
peningkatan pengambilan nutrisi.
Pada masa aklimatisasi, anak ayam sering
menderita shok karena perubahan nutrisi, lingkungan dan status
imunitasnya. Penambahan amilase, biasanya juga bersamaan dengan
penambahan enzim lain, untuk meningkatkan produksi enzim endogeneous telah
terbukti dapat memperbaiki pencernaan nutrisi dan penyerapannya.
4.
Enzim Pemecah Asam
pitat
Phospor merupakan unsur esensial untuk semua
hewan, karena diperlukan untuk mineralisasi tulang, imunitas, fertilitas dan
juga pertumbuhan. Swine dan Unggas hanya dapat mencerna Phospor dalam
bentuk asam pitat yang terdapat dalam sayur sekitar 30-40 %. Phospor yang
tidak dapat dicerna akan keluar bersama kotoran (feces) dan menimbulkan
pencemaran.
Enzim pytase dapat memecah asam pytat, maka
penambahan enzim tersebut pada pakan ternak akan membebaskan lebih banyak
phospor yang digunakan oleh hewan.
Enzime phytase banyak dikenal dapat
menghilangkan pengaruh anti nutrisi asam phitat. Penggunaan enzime
phytase dalam pakan akan mengurangi keharusan penambahan sumber-sumber
fosfor anorganik mengingat fosfor asal bahan baku tumbuhan terikat
dalam asam phitat yang mengurangi ketersediaannya dalam pakan. Padahal
suplementasi fosfor anorganik misalnya mengandalkan di calcium phosphate maupun
mono calcium phosphate relatif mahal belakangan ini. Di samping itu, fosfor
yang terikat dalam asam phitat yang tidak bisa dicerna sempurna oleh sistem
pencernaan hewan monogastrik akan ikut dalam feses dan menjadi sumber polutan
yang berpotensi mencemari tanah. Fosfor adalah tidak terurai dalam tanah
sehingga dalam jangka panjang, pembuangan feses dengan kandungan fosfor tinggi
akan menimbulkan masalah bagi tanah.
Terdapat dua keuntungan menggunakan phytase
dalam pakan ternak yaitu (1) pengurangan biaya pakan dari pengurangan suplemen
P pada makanan dan (2) pengurangan polusi dari berkurangnya limbah melalui
feces.
Sumber Phytase
Phytase
dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu 6-phytase dan 3-phytase.
Penggolongan ini berdasarkan pada tempat awal molekul phytat
dihidrolisis. 6-phytase umumnya ditemukan dalam tanaman, sedangkan
3-phytase dihasilkan oleh jamur (mikroorganisme) (Dvorakova, 1998, diacu oleh
Maenz, 2001).
a.
Phytase Tanaman
Hampir semua tanaman mempunyai aktivitas
phytase namun jumlah dan aktivitasnya sangat bervariasi cukup besar antar
tanaman. Eeckhout dan De Paepe (1994) telah mengevaluasi level phytase
pada 51 feedstuffs yang digunakan di Belgia dan menyimpulkan bahwa aktivitas
phytase terdapat pada biji sereal seperti rye, triticale, gandum, barley
sedangkan feedstuff lainnya termasuk kedelai mengandung aktivitas phytase yang
sangat rendah (Maenz, 2001). Kandungan P pada wheat untuk makanan unggas
berkisar 45 sampai 70 % (Barrier-Guillot et al, 1996, diacu oleh Maenz, 2001).
Lebih lanjut Barrier-Guillot et al., 1996) mengukur aktivitas phytase pada 56
contoh gantung yang tumbuh di Perancis tahun 1992 dan mendapatkan variasi
aktivitas phytase antara 206 sampai 775 mU per gram.
Studi yang dilakukan oleh Kemme et al., (1998)
diacu oleh Maenz (2001) terhadap degradasi asam pitat pada pencernaan babi
(pigs) menunjukkan bahwa, bila diberi makan jagung, maka tingkat degradasinya
adalah 3 %, phytase pada jagung 91 unit/kg, diberi makan campuran
jagung-barley, tingkat degradasinya 31 %, phytase pada campuran gandum-barley 342
unit/kg dan jika diberi makan campuran gandum-barley, tingkat degradasinya 47
%, kandungan phytase pada campuran ini adalah 1005 unit/kg. Studi ini
menunjukkan bahwa tingginya kandungan phytase pada gandum dan barley dapat
membantu meningkatkan tingkat kecernaan asam phytat pada hewan.
b.
Phytase
Mikroorganisme
Enzime hydrolitik yang menguraikan asam phytat
dihasilkan oleh berbagai macam mikroorganisme. Dvorakova (1998) yang
diacu oleh Maenz (2001) mengatakan bahwa ada 29 jenis jamur, bakteri dan ragi
yang menghasilkan enzime phytase. Dari 29 jenis tersebut, 21 jenis
diantaranya menghasilkan enzime phytase extraceluler. Strain jamur Aspergilus
niger menghasilkan aktivitas phytase extraseluler yang tinggi (Volfova et
al., 1994) yang diacu oleh Maenz (2001).
Dampak Positif dan Negatif Penggunaan Enzim
Enzim mempunya sifat yang unik, akan
menunjukkan aktivitasnya pada kondisi lingkungan yang cocok, baik pH maupun
Suhu. Masing-masing jenis enzim mempunya kisaran pH dan suhu optimalnya.
Pelet pakan ternak dibuat melalui proses pemanasan pada suhu tinggi, karena itu
kestabilan enzim terhadap perlakuan panas pada industri pakan sangat
diperlukan.
Enzim bekerja sebagai katalisator untuk
mempercepat suatu proses reaksi kimia, karena itu aktivitasnya juga akan
ditentukan oleh dosis enzim itu sendiri. Pemberian enzim exogeneous harus
mempertimbangkan juga enzim endogeneous yang sudah ada pada hewan, karena itu
sebelum membuat formulasi produk harus dilakukan penelitian terlebih dahulu dan
dilihat performance hewannya pada berbagai tingkatan umur.
Metoda analisis yang mudah dan tepat untuk
menentukan jumlah enzim yang aktif juga merupakan suatu tantangan yang
perlu mendapatkan perhatian dari para ilmuwan, Dengan adanya metode
analisis yang akurat dan cepat makan akan sangat mempermudah pembuatan formulasi
produk pakan ternak.
Walaupun telah terbukti bahwa suplemen enzim
dapat meningkatkan produksi ternak, namun karena untuk mendapatkan enzim itu
sendiri tidak mudah maka produk pakan ternak berenzim harganya menjadi mahal,
karena itu komponen biaya lain dari produksi pakan sedapat mungkin dapat
ditekan sehingga akan menurunkan harga pakan ternak berenzim. Hal lain
yang perlu dilakukan adalah melakukan penelitian untuk mendapatkan enzim secara
mudah dan murah.
Indonesia merupakan negara yang mempunya
julukan megadiversiti, karena itu explorasi untuk mendapatkan sumber penghasil
enzim baru sangat dimungkinkan, baik dari jamur maupun bakteri.
Saat ini belum banyak enzim termostabil yang dihasilkan dari Indonesia, padahal
sumber-sumber baik bakteri maupun jamur dari lokasi kawah sangat berlimpah.
B.
Penggunaan Hormon Pemacu Pertumbuhan
Yang dimaksud dengan frowth hormon ialah
himpunan sejumlah hormon yang berfungsi mengatur pertumbuhan. Hormon
pertumbuhan dihasilkan oleh kelenjar pituitari dan dikenal dengan STH (Somato
Tropic Hormone = Somatotropin). Mekanisme kerjanya langsung dan tidak langsung
terhadap pertumbuhan. Efek langsungnya sebagai anti-insulin, sedangkan efek
tidak langsungnya ialah terhadap reseptor dalam hati yang kemudian hati
mengeluarkan beberapa hormon polipeptida lain. Secara kolektif disebut
Somatomedin yang juga sering disebut Insulinlike Growth Factor I dan II atau
IGF – I dan IGF – II dengan rangkaian asam amino 70 dan 67. Hormon ini
merangsang proliferasi sel dan melakukan negative feed back terhadap
pengeluaran STH.
Hormon lain yang ada kaitannya dengan
pertumbuhan, poliferasi dan diferensiasi sel spesifik antara lain
erythropoietin, nerve growth factor, epidermal and fibroblast growth factor,
platelet derived growth factor , dan sejumlah hormon thymine seperti thymosin,
thymopoetin, serum thymic factor dan lain-lain. Insulin merupakan hormon
polipeptida yang di samping bekerja terhadap metabolisme karbohidrat dan lemak,
juga mempunyai peranan penting dalam regulasi pertumbuhan. Prolaktin memegang peranan
penting dalam pertumbuhan kelenjar mammae selama akhir stadia kebuntingan.
Laktogen plasenta sangat berperan terhadap pertumbuhan fetus. Anabolic steroid
pada diduga mampu meningkatkan myogenesis dan meningkatkan lipolisis, namun
sangat bergantung kepada unur hewannya. Jadi, hormon pemacu pertumbuhan adalah
himpunan beberapa hormon yang ada kaitannya dengan pertumbuhan.
Hormon pertumbuhan utama yang digunakan dalam
produksi ternak adalah anabolic steroid dan Growth Hormone. Namun yang menjadi
perhatian dewasa ini ialah bovine somatotropin ( bST, bGH ) dan porcine (babi)
somatotropin (pST, pGH). Porcine somatotropin, walaupun sangat efektif
meningkatkan pertumbuhan , sudah jelas tidak diharapkan masuk, karena
permasalahan agama. Fungsi fisiologis hormon ini ialah mempengaruhi metabolisme
yang berkaitan dengan pertumbuhan melalui stimulasi sintesis protein,
meningkatkan transpor asam amino ke dalam sel, mempengaruhi metabolisme
karbohidrat, meningkatkan glucogenesis dalam hati, merangsang mobilisasi lemak
tubuh, mempengaruhi metabolisme mineral dan memacu pertumbuhan tulang rawan,
yang pada gilirannya memacu pertumbuhan.
Sekarang berkembang hormon recombinant antara
lain recombinant bovine growth hormone dan recombinant bovine somatotropin
(rBGH dan rBST). Salah satu produk dibuat oleh Mosanto corporation melalui
rekayasa genetik yakni rBGH dengan nama perdagangan Posilac yang dikenal juga
sebagai BST atau BGH atau rBGH. Applikasinya bervariasi bergantung kepada
produk mana yang digunakan. Sebagian digunakan secara injeksi dan sebagian
dengan cara inplantasi. Cara aplikasi ini sangat menentukan kandungan hormon
dalam darah dan organ tubuh.
Penggunaan pada Sapi Perah
Pada perusahaan sapi perah, khususnya
perusahaan besar, banyak menggunakan rBGH sebagai milk-stimulating hormone.
Applikasi pada sapi perah di Amerika Serikat secara injeksi dan banyak
digunakan rBST. Dalam penelitian produksi susu, ternyata hormon ini dapat
meningkatkan produksi susu sampai 10%. Namun, kemudian dalam aplikasinya banyak
perusahaan mengeluh, karena efeknya hampir tidak ada. The Standing Senate
Committee on Agriculture and Forestry, Canada, pada hari Senin tanggal 26 April
1999 di Ottawa, menyelenggarakan diskusi penggunaan rBGH pada sapi perah.
Ratusan laporan dari peternak dan asosiasi peternak, yang mengemukakan bahwa
bila BGH dan BST diberikan pada sapi perah akan terjadi metabolit IGF-I disebut
juga myotrophin digunakan sebagai obat untuk pertumbuhan syaraf pada manusia,
namun kemudian FDA menyelenggarakan diskusi panel yang kesimpulannya bahwa
IGF-I (myotrophin) ditolak sebagai obat, karena menimbulkan bnyak kematian pada
manusia (The Standing Senate Committee on Agriculture and Forestry, 1999).
Sebelum tahun 1995 perusahaan sapi perah besar
menggunakan milk-stimulating hormone (rBGH), namun sejak tahun 1995 di
California penggunaan rBGH menurun dan bahkan pada cuaca buruk, penggunaan rBGH
ini justru menimbulkan stress. Injeksi rBGH menurunkan harapan hidup sapi
perah, meningkatkan resiko penyakit, sapi perah bobotnya menurun, kadang-kadang
jadi infertil dan lebih peka terhadap mastitis. Lebih lanjut bahwa banyak
peternak mulai ketakutan menggunakan rBGH, karena adanya masalah kelainan
reproduksi. Di Amerika Serikat, para dokter hewan tidak menentang penggunaan
rBGH, tetapi dokter hewan di Jerman secara formal menolak penggunaan rBGH dan
dianggap melanggar kode etik (Rachel, 1996).
Hasil penelitian terhadap Posilac (nama
perdagangan rBGH dari Monsanto) air susu sapi yang diberi rBGH mengandung
Metabolit IGF-I atau dikenal dengan myotrophin dan IGF-I merupakan penyebab
tumor kolon, menimbulkan cepatnya pembelahan sel, merupakan acute diabetes
induction pada anak-anak dan menimbulkan antibodi berkaitan dengan diabetes.
IGF-I secara alami terdapat pada sapi dan manusia dan molekulnya ternyata
identik. Selanjutnya IGF-I tidak mngurai dengan pasturisasi, sehingga IGF-I
yang terdapat dalam susu sapi yang diberi strukturnya dengan hormon alami
(Rachel, 1996).
Penggunaan pada Sapi Potong
Pada sapi potong, penggunaan zat pemacu
pertumbuhan masih bersimpang siur. Hormon yang diimplantasikan pada telinga
seperti terlihat pada sapi impor dari Australia, dapat meningkatkan berat
sekitar 14% dan memperbaiki konversi pakan antara 6-10%. Banyak hormon
perdagangan yang digunakan antara lain Ralgo, Synovex C, Zeranol, Revalor S,
Revalor H, Posilac dan lain-lain.
Lima organisasi yakni WHO, the United Nations
Food and Agricultural Organization, the European Commission Scientific Working
Group on Anabolic Agents in Animal production, dan the Codex Alimentarius
Commission, menyatakan bahwa penggunaan hormon yang sudah mendapat pengawasan
dan disartifikasi adalah aman bagi produksi sapi potong. Walaupun demikian,
untuk penggunaan hormon ini harus tercatat, sesuai dengan teknologi trbaru,
penggunaannya terprogram. Di Australia Barat, hnya retailer yang tercatat boleh
menjual hormon HGP’s. Setiap pengecer harus menyediakan format perjanjian
dengan pembeli.
Pada tanggal 26 April 1999, The Standing Senate
Committee on Agriculture and Forestry, Canada, menerbitkan hasil diskusi
mengenai status pertanian sekarang dan masa yang akan datang di Canada. Anggota
Komite umumnya tidak percaya, karena belum banyak bukti, tentang resiko yang
timbul pada manusia yang mengkonsumsi susu dari sapi yang diberi rBST. Tetapi,
Environmental Research Foundations, Annapolis, USA, menyatakan bahwa hormon BST
atau BGH atau rBGH yang nama perdagangannya POSILAC ditentang mati-matian oleh
kelompok konsumen di lapangan, karena (1) untuk sapi tidak baik, (2) masyarakat
merasa lebih aman peningkatan produksi tanpa zat kimia, (3) di Amerika tidak
diperlukan, karena produksi sapi perah sudah cukup, (4) dampaknya pada manusia
tidak diketahui.
Pada tanggal 30 April 1999, Masyarakat Eropa
menerbitkan laporan mengenai pendapat the Scientific Committee on Veterinary
Measures Public Health (SCVPH). Dalam laporan di atas bahwa hormon aktif yang
digunakan untuk memacu pertumbuhan pada sapi, potensial berisiko bagi kesehatan
manusia akibat residu pada daging dan produk daging. Yang diteliti adalah enam
hormon steroid yakni oestradiol-17B, testosterone, zeranol, progesterone,
trebolone acetate dan melenogestrol acetate. The SCVPH menyimpulkan bahwa
resiko akibat mengkonsumsi daging dari sapi yang diberi hormon steroid pemacu
pertumbuhan lebih tinggi dari dugaan semula (Sub-Group of the Veterinary
Products Committee, 1999).
Dampak Positif Dan Negatif Penggunaan
Hormon
Secara umum, tidak disangsikan lagi bahwa
hormon mengontrol reproduksi dan pertumbuhan/perkembangan, dan dapat
meningkatkan laju pertumbuhan dan produksi susu. Namun banyak peternak menolak
dengan alasan tidak ada jaminan yang pasti tentang keamanan produk, ada
keraguan tentang kredibilitas FDA, ada anggapan bahwa ilmuwan kurang
memperhatikan keadaan ini dan tidak benar-benar netral. Di samping itu banyak
juga yang mnerima, karena secara alami hormon tersebut sudah ada dalam tubuh,
persetujuan FDA merupakan suatu kepercayaan, merasakan adanya efisiensi
produksi, sehingga mendorong pengurangan biaya produksi, dan lain-lain. Dari
ungkapan di atas, jelas adanya kontroversi yang cukup beralasan, karena belum
ada penelitian yang benar-benar menjurus ke arah itu.
Dari penelitian secara partial, tidak
disangsikan lagi bahwa hormon seks eksogenous dalam level yang tinggi dapat
mengggangu proses fisiologis tubuh. Bahkan dalam beberapa kasus dapat secara
permanen mengganggu beberapa aspek kegiatan fifiologis. Somatotropin alami
sudah sejak lama diketahui dan digunakan sebagai pemacu roduksi ternak, dan
menunjukkan adanya efisiensi produksi. Namu, belakangan setelah didapat
somatotropin produk rekayasa genetik, terjadi sorotan tajam, karena diduga
adanya residu yang mengganggu kesehatan manusia. Rupanya produksi asam amino
pada ribosoma bakteri terlalu kuat mempengaruhi sapi dan terus aktif, sehingga
berbahaya bagi manusia.
Hormon pemacu pertumbuhan terdiri atas hormon
non-steroid yakni hormon protein atau lebih tepat disebut hormon polypeptide
yang terdiri atas sekitar 190 asam amino berikatan satu dengan yang lainnya
dalam sebuah molekul polypeptide. Komposisi asam aminonya berbeda antar
spesies. Kelompok non-steroid antara lain Bovine Somatotropin (bST, bGH) dan
Porcine (babi) Somatotropin (pST , pGH) dengan beberapa nama perdagangan.
Hormon lain ialah kelompok hormon steroid antara lain, Oestradiol 17 B,
Progesterone, Testosterone, Melengestrol acetate, Trenbolonce acetate, Zerano.
Fungsi fisiologis hormon ini ialah mempengaruhi
proses metabolisme yang menyangkut pertumbuhan melalui stimulasi sintesis
protein, meningkatkan transportasi asam amino ke dalam sel, mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, glucogenesis dalam hati, memacu mobilisasi lemak
tubuh, mempengaruhi metabolisme mineral dan memacu pertumbuhan tulang rawan.
Keuntungan dan kerugian penggunaan hormon dalam produksi ternak dan dampak produk
tersebut terhadap konsumen masih simpang siur.
Tantangan ilmiahnya ialah manusia harus
memahami cara pengendalian agar keberadaan campuran zat kimia yang kompleks
tersebut serendah mungkin pada setiap stadia perkembangan manusia, sebab dapat
menimbulkan pengaruh terhadap “hormonal pathways”. Sejauh ini belum ada bukti
bahwa bila level hormon sex exogenous cukup rendah dapat menggangu reproduksi
dan perkembangan manusia.
C.
Antibiotik
Antibiotik merupakan senyawa kimia yang
dihasilkan oleh berbagai jasad renik, seperti bakteri dan jamur yang memiliki
fungsi menghentikan pertumbuhan atau membunuh jasad renik. Penicillin
dihasilkan oleh Penicillium, Cephalosporin dihasilkan oleh Cephalosporium.
Antibiotik yang diperoleh secara alami oleh mikroorganisme disebut antibiotik
alami, antibiotik yang disintesis di laboratorium disebut antibiotik sintetis,
seperti sulfa. Antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan dimodifikasi
di laboratorium dengan menambahkan senyawa kimia disebut antibiotik
semisintetis.
Berdasarkan cara kerjanya, antibiotik dibedakan
dalam 4 kelompok, yaitu:
1. Antibiotik penghambat
sintesis dinding sel, misalnya Penicillin,
Bacitrasin, Novobiosin, Sefalosporin dan Vancomisin
2. Antibiotik perusak
membrane sel, misalnya Polimixin, Colistin,
Novobiosin, Gentamisin, Nistatin dan Amfoterisin B
3. Antibiotik penghambat
sintesis protein, misalnya Tetrasiklin,
Khloramfenikol, Neomisin, Streptomisin, Kanamisin, eritromisin, Oleandomisin,
Tilosin dan Linkomisin
4.
Antibiotik penghambat
sintesis asam nukleat, misalnya Aktinomisin,
Sulfonamida dan derivat kuinolon.
Antibiotik dibedakan juga berdasarkan
kemampuannya menekan pertumbuhan atau membunuh bakteri, yaitu :
a. Antibiotik bakterisidal adalah
antibiotik yang mampu membunuh sel bakteri, contohnya: Penicillin, Streptomisin,
Bacitrasin, Neomisin, Polimiksin dan Nitrofurans.
b. Antibiotik yang bersifat bakteriostatik
yaitu antibiotik yang hanya mampu menekan pertumbuhan sel bakteri,
contohnya : sediaan Sulfa, Tetrasiklin, Khloramfenikol, Eritromisin, Tilosin,
Oleandomisin dan Nitrofuran.
Secara umum antimikroba yang mempengaruhi
pembentukan dinding sel atau permeabilitas membrane sel bekerja sebagai
bakterisid, sedangkan yang mempengaruhi sintesis protein bekerja sebagai
bakteriostatik. Bakterisid adalah zat yang dapat membunuh bakteri dan
bakteriostatik adalah zat yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri, sehingga
populasi bakteri tetap. Beberapa senyawa kimia antimikroba, antara lain fenol,
alkohol, halogen, logam berat, zat warna, deterjen, senyawa ammonium kuartener,
asam dan basa.
Berdasarkan atas sifat bakteri yang peka, antibiotik dibedakan dalam 3
kelompok, yaitu
a. Antibiotik yang peka
terhadap bakteri Gram-positif, misalnya
Penicillin, Basitrasin, Novobiosin, Sefalosporin, Eritromisin, Tilosin dan
Oleandomisin
b. Antibiotik yang peka
terhadap bakteri Gram-negatif, misalnya
Streptomisin dan Dehidrostreptomisin, Neomisin, Polimiksin, Colistin, Kanamisin
dan Gentamisin
c. Antibiotik spektrum luas, seperti Ampisillin, Amoksisillin, Tetrasiklin, Khloramfenikol,
sediaan Sulfa, Nitrofurans dan Sefalosporin.
Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan
kelompok antibiotika yang dihasilkan oleh jamur Streptomyces aureofaciens atau
S. rimosus. Tetrasiklin merupakan derivat dari senyawa hidronaftalen,
dan berwarna kuning (Subronto, 2001). Tetrasiklin merupakan antibiotika
berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri gram-positif maupun gram-negatif
yang bekerja merintangi sintesa protein (Tan dan Rahardja, 2008).
Pemakaian
Tetrasiklin pada Ternak
Pada unggas (ayam, kalkun), untuk pencegahan CRD
tetrasiklin diberikan dengan dosis 100-200 mg/gallon air minum, sedangkan untuk
pengobatan CRD dan air sacculitis, hexamitiasis dan bleucomb, sinusitis, dan
sinivovitis, tetrasiklin diberikan dengan dosis 200-400 mg/gallon air minum
(Subronto, 2001).
Di bidang peternakan, selain untuk tujuan terapetik,
antibiotik juga dipakai sebagai imbuhan pakan untuk merangsang pertumbuhan pada
ternak (Bahri, 2008). Beberapa antibiotika yang banyak dipakai sebagai
perangsang pertumbuhan antara lain dari golongan tetrasiklin, penisilin,
macrolida, dan lincomisin. Pengaruh pemberian antibiotik yang menguntungkan
disebabkan oleh adanya faktor pengendali infeksi subklinis. Antibiotik juga
mampu meningkatkan digesti pati dengan jalan menekan aktivitas mikroba yang bertanggung
jawab terhadap produksi gas di lambung (Soeparno, 1998).
Namun akhir-akhir ini penggunaan senyawa antibiotik dalam
pakan ternak telah menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuwan akibat efek
buruk yang ditimbulkan melalui residu yang ditinggalkan baik pada daging, susu
maupun telur. Larangan penggunaan antibiotik dalam pakan ternak bukan merupakan
hal yang baru bagi sebagian negara Eropa. Beberapa negara tertentu telah
membatasi penggunaan zat aditif tersebut dalam pakan ternak seperti di Swedia
tahun 1986, Denmark tahun 1995, Jerman tahun 1996 dan Swiss tahun 1999. Akan
tetapi pelarangan tersebut tidak menyeluruh dan hanya terbatas pada jenis
antibiotik tertentu misalnya avoparcin (Denmark), vancomisin (Jerman),
spiramisin, tilosin, dan virginiamicin (Uni Eropa). Hingga kini hanya tersisa
empat antibiotik yang masih diizinkan penggunaannya dalam pakan ternak pada
masyarakat Eropa yaitu flavophospholipol, avilamycin, monensin-Na dan
salinomycin-Na. Sementara di Indonesia larangan penggunaan beberapa antibiotik
dalam imbuhan pakan tercantum dalam revisi UU no 6 tahun 1967 (masih dalam
tahap penyelesaian). Hanya saja ada sedikit kerancuan karena tidak mencantumkan
jenis antibiotik apa saja yang dilarang penggunaannya dalam pakan ternak
(Sjofjan, 2011).
Residu Tetrasiklin pada Ternak
Residu obat atau bahan kimia adalah akumulasi obat atau
bahan kimia dan atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah
pemakaian obat atau bahan kimia untuk tujuan pencegahan/pengobatan atau sebagai
imbuhan pakan untuk pemacu pertumbuhan. Residu antibiotik dalam makanan asal
hewan erat kaitannya dengan penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan
pengobatan penyakit serta penggunaannya sebagai imbuhan pakan. Sebagai imbuhan
pakan, antibiotika dapat memacu pertumbuhan ternak agar dapat tumbuh lebih
besar dan lebih cepat serta dapat mencegah terjadinya infeksi bakteri.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan serta tidak dipatuhinya waktu henti obat
menyebabkan timbulnya residu di dalam daging ternak, telur, susu atau produk
ternak lainnya. Waktu henti adalah kurun waktu dari saat pemberian obat
terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi (Bahri,
2008). Waktu henti pemakaian antibiotik golongan tetrasiklin adalah 5 hari
menjelang ternak dipotong (Lastari, dkk., 1987).
Dampak Negatif Penggunaan Antibiotik di Bidang Peternakan
Residu Antibiotik
Tiap senyawa anorganik atau organik, baik yang
berupa obat-obatan, mineral atau hormon yang masuk atau dimasukkan ke dalam
tubuh individu, akan mengalami berbagai proses yang terdiri dari : penyerapan
(absorbsi), distribusi, metabolisme (biotransformasi) dan eliminasi.
Kecepatan proses biologik tersebut di atas
tergantung kepada jenis dan bentuk senyawa, cara masuknya dan kondisi jaringan
yang memprosesnya. Apabila bahan tersebut dimasukkan melalui mulut, penyerapan
terjadi di dalam saluran pencernaan yang sebagian besar dilakukan oleh usus.
Setelah terjadi penyerapan , senyawa yang berbentuk asli maupun metabolitnya
akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan ke seluruh bagian tubuh.
Metabolisme akan terjadi di dalam alat-alat tubuh yang memang berfungsi untuk
hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu melakukannya. Eliminasi
akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal, dalam bentuk kemih dan
lewat usus dalam bentuk tinja.
Senyawa-senyawa dalam bentuk asli maupun
metabolitnya akan tertinggal atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu
tertentu tergantung pada waktu paruh senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada
kondisi ternak yang sehat kecepatan eliminasi akan jauh lebih cepat daripada
ternak sakit. Dalam keadaan tubuh lemah atau terdapat gangguan alat
metabolisme, maka eliminasi obat akan terganggu. Apabila senyawa-senyawa
tersebut diberikan dalam waktu yang lama, maka akan terjadi timbunan senyawa
atau metabolitnya di dalam tubuh, itulah yang disebut dengan residu. Jadi
residu obat adalah akumulasi dari obat atau metabolitnya dalam jaringan atau
organ hewan/ternak setelah pemakaian obat hewan.
Pada usaha peternakan, residu dapat ditemukan
pada bahan-bahan yang berasal dari ternak sebagai akibat penggunaan
obat-obatan, termasuk antibiotik, pemberian feed additive, ataupun
hormon yang digunakan untuk memacu pertumbuhan hewan. Semakin intensif suatu
usaha peternakan maka kemungkinan untuk tertimbunnya residu semakin besar dan
bahkan tidak terhindarkan lagi. Residu juga bisa berasal dari obat-obatan yang
digunakan untuk mencegah kerusakan bahan pakan, yang mungkin bisa berupa
pestisida, herbisida, fungisida dan antiparasitika
Terdapat lebih dari 40 jenis antibiotik
(termasuk senyawa sulfa) telah digunakan dalam upaya peningkatan hasil usaha di
bidang peternakan. Penggunaan antibiotik untuk tujuan pengobatan penyakit atau
untuk memacu pertumbuhan pada ternak harus dilandasi dengan pengetahuan
farmakokinetik dan farmakodinamik serta patofisiologi, jika tidak maka akan
timbul kerugian yang besar, baik berupa bahaya terhadap ternak itu sendiri
maupun terhadap manusia yang mengkonsumsinya.
Seringkali peternak tidak memperhatikan aturan
pakai pemberian antibiotik, sehingga antibiotik yang diberikan sering di bawah
dosis sehingga tidak manghasilkan kesembuhan pada ternak. Antibodi yang
dibentuk di dalam tubuh tidak dapat pulih kembali, agen penyakit terus
berkembang dalam kondisi yang lebih resisten. Selanjutnya penyakit akan kembali
lagi dengan serangan yang lebih hebat dan tidak peka lagi terhadap jenis
antibiotik yang sama dalam dosis yang sama. Keadaan tersebut memaksa petermak
mempertinggi dosis pemakaian antibiotik. Akibat selanjutnya akan timbul shock
pada ternak dan akan membunuh flora yang berada di usus ternak, sehingga
sintesis vitamin oleh tubuh ternak terganggu serta terjadi super infeksi
(infeksi baru).
Hal lain yang perlu untuk dipelajari adalah
bahwa antibiotik tidak dapat seluruhnya diekskresi dari jaringan tubuh ternak,
seperti : daging, air susu dan telur. Hal ini berarti sebagian antibiotik masih
tertahan dalam jaringan tubuh sebagai bentuk residu.
Terdapat beberapa residu obat yang terdapat
dalam produk ternak setelah pengolahan. Residu obat yang sering ditemukan
antara lain adalah tetrasiklin, streptomisin, khloramfenikol dan
benzyl-penicillin.
Tetrasiklin yang terdapat pada produk ternak
sebanyak 5 ppm sampai dengan 10 ppm akan didegradasi dan hanya tersisa 1 ppm.
Toksisitas produk degradasi tersebut belum diketahui. Streptomisin tidak terpengaruh
oleh pemanasan pada temperatur 1000C selama 2 jam. Khloramfenikol
stabil terhadap panas. Pemanasan pata temperatur 1000C selama 30
menit akan menurunkan kadar menjadi 80%. Khloramfenikol hanya boleh digunakan
oleh ternak bukan produksi.
Pemanasan pada temperatur 600C
sampai 850C akan menyebabkan benzyl-penicillin yang terdapat dalam
daging terdegradasi dan dengan pemanasan yang lebih tinggi lagi meyebabkan
terjadinya isomerisasi dari produk degradasi tersebut. Toksisitas produk
degradasi tersebut belum diketahui.
Problem kesehatan manusia akan timbul jika
manusia mengkonsumsi hasil ternak yang mengandung residu antibiotik. Beberapa
efek yang mungkin timbul pada manusia akibat residu antibiotik, antara lain
Penicillin seringkali menyebabkan alergi bagi manusia yang mengkonsumsinya dan
menyebabkan gangguan kulit, kardiovaskuler, traktus gastrointestinalis, berupa
diare dan sakit perut serta urtikaria dan hipotensi. Tetracyclin menyebabkan
gangguan kulit, fotosensitifitas, muntah, diare, shock anafilaksis yang diikuti
kematian. Streptomycin menimbulkan gangguan pada susunan syaraf pusat dan tepi,
pusing-pusing, gangguan alat pendengaran, gangguan keseimbangan, vertigo dan
ketulian. Chloramfenikol menimbulkan anemia dan leukopenia.
Selain pengaruh-pengaruh di atas, antibiotik
juga berdampak negatif terhadap ternak, antara lain berupa hambatan
pertumbuhan, penurunan daya tetas, toksisitas dan residunya dalam telur, daging
maupun susu. Furaltadone bersifat menghambat pertumbuhan, Furazalidone
menyebabkan penurunan daya tetas dan kelompok Sulfa sering menyebabkan
toksisitas apabila kelebihan dosis. Chlorampenicol, Doxycyclin, Spyramycin,
Tylosin, ditemukan :sebagai residu dalam telur dan daging.
Tetracyclin,:Chloramphenicol dan Neomycin (TCN), mengganggu kehidupan
mikroflora usus.
Resistensi Bakteri
Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik
dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain (1) adanya mikroorganisme yang
menghasilkan enzim yang dapat merusak aktivitas obat (2) adanya perubahan
permeabilitas dari mikroorganisme (3) adanya modifikasi reseptor site
pada bakteri sehingga menyebabkan afinitas obat berkurang (4) adanya mutasi dan
transfer genetik.
Transfer genetik antara strain Shigella telah
ditemukan oleh Watanebe (1963), antara strain Gram negatif ditemukan oleh
Falkow et al. (1966). Transfer resistensi bisa terjadi dari satu penderita ke
penderita dan dari pangan asal ternak ke manusia.
Ransum ternak dan ikan pada awalnya tidak
diberi tambahan antibakteri, tetapi dalam dekade terakhir antibakteri banyak
digunakan dengan alasan untuk memperbaiki pertumbuhan dan produksi. Di Denmark,
penggunaan antibakteri untuk kepentingan pakan tambahan jauh lebih besar
daripada untuk tujuan pengobatan. Di Indonesia, penggunaan antibakteri sebagai
pakan tambahan sudah digunakan dalam waktu yang cukup lama, namun sampai saat
ini belum ada monitoring untuk mengetahui dampak negatif dari antibakteri
tersebut. Di Negara-negara Eropa, monitoring tersebut sudah dilakukan secara
rutin, dan karena terbukti memberikan dampak negatif, maka muncul larangan
terhadap penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Larangan tersebut berawal
dari diketahuinya bakteri yang resisten terhadap tetrasiklin, dimana
tetrasiklin merupakan antibakteri yang paling banyak digunakan di Eropa.
Resistensi bakteri terhadap antibakteri
sebagian besar terjadi karena perubahan genetik dan dilanjutkan serangkaian
proses seleksi oleh antibakteri. Seleksi antibakteri adalah mekanisme selektif
antibakteri untuk membunuh bakteri yang peka dan membiarkan bakteri yang
resisten tetap tumbuh. Proses seleksi ini terjadi karena penggunaan antibakteri
yang sama yang tidak terkendali.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat
ditekan melalui cara-cara, antara lain (1) mempertahankan kadar antibiotik yang
cukup dalam jaringan untuk menghambat populasi bakteri asli dan yang mengalami
mutasi tingkat rendah (2) memberi dua obat yang tidak memberi resisten silang
secara simultan, masing-masing menunda timbulnya mutan resisten terhadap obat
yang lain.
Pada awalnya masalah resistensi bakteri
terhadap antibiotik bisa diatasi dengan penemuan golongan baru antibiotik dan
modifikasi kimiawi antibiotik yang sudah ada, namun tidak ada jaminan bahwa
pengembangan antibiotik baru dapat mencegah kemampuan bakteri pathogen untuk menjadi
resisten. Bakteri memiliki seperangkat cara beradaptasi terhadap lingkungan
yang mengandung antibiotik. Problem yang cukup penting adalah kemampuan bakteri
untuk mendapatkan materi genetik eksogenous yang bisa menimbulkan terjadinya
resistensi. Spesies pneumokokki dan meningokokki dapat mengambil materi DNA
dari luar sel (eksogenous) dan mengkombinasikannya ke dalam kromosom.
Dampak Positif Penggunaan Antibiotik Sebagai Imbuhan Pakan Ternak
Pada usaha peternakan modern, imbuhan pakan
(feed additive) sudah umum digunakan oleh peternak. Suplemen ini dimaksudkan
untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan dengan mengurangi
mikroorganisme pengganggu (patogen) atau meningkatkan populasi mikroba yang
menguntungkan yang ada di dalam saluran pencernaan.
Penggunaan preparat antibiotik sebagai imbuhan
pakan bertujuan untuk memperbaiki tampilan produksi ternak, seperti :
peningkatan laju pertumbuhan, sehingga mendekati pertumbuhan yang ideal sesuai
dengan potensi genetik yang dimiliki ternak. Perbaikan konversi pakan dan
perbaikan kondisi tubuh ternak, sehingga antibiotik sebagai imbuhan pakan
disebut sebagai Antibiotic Growth Promotors (AGP).
Penggunaan AGP dalam pakan telah terbukti
menguntungkan. Keuntungan yang bisa diperoleh antara lain (1) kondisi sel-sel
epitel usus akan jauh lebih baik, termasuk perkembangan jaringan limfoid yang
ada di usus. Keadaan ini akan menciptakan kesehatan ternak yang lebih optimal
dengan respon pertahanan tubuh serta reaksi imunologis yang lebih baik. Dan
selanjutnya akan menurunkan angha kematian ternak dan menekan biaya pengobatan
(2) reruntuhan sel-sel yang dikeluarkan lewat feses pada ternak yang
mengkonsumsi AGP lebih sedikit, dengan demikian jumlah feses secara total juga
sedikit, sehingga hal ini akan mengurangi kontaminasi lingkungan dan menekan
biaya penanganan limbah (3) kadar amoniak dalam feses pada ternak pengkonsumsi
AGP jauh lebih rendah (4) tidak mengganggu fungsi biologis flora di dalam usus
dan tidak bertujuan membunuh bakteri yang bersifat patogen, karena jumlah
antibiotik yang digunakan sebagai AGP jauh di bawah dosis terapeutik
(pengobatan) ataupun kadar hambat minimal (MIC: Minimal Inhibitory
Concentration) dan tidak menyebabkan resistensi terhadap bakteri.
Batas Toleransi Antibiotik
Sebagai konsekuensi keadaan di atas, maka
mengharuskan pemerintah menetapkan batas-batas keamanan residu dalam pakan dan
produk-produk ternak yang diperdagangkan.
Produk daging, telur dan susu yang mengandung
residu obat masih layak untuk dikonsumsi, jika kadar residu masih berada di
bawah batas toleransi. Batas toleransi adalah kadar residu obat maksimal yang
masih diperkenankan terdapat dalam daging ayam yang dikonsumsi. Obat yang
sangat toksik yang mempunyai potensi karsinogenik (dapat menyebabkan kanker),
toleransi kadar residunya di dalam daging ayam harus nol.
Diperlukan perangkat-perangkat lunak dalam
bentuk aturan-aturan untuk melindungi konsumen dari akibat negatif di atas.
Aturan-aturan tersebut ditujukan terutama untuk produsen pakan ternak, pabrik
obat-obatan hewan, semua orang termasuk Dokter Hewan dan peternak yang terlibat
dengan penggunaan obat-obatan hewan.Batas-batas toleransi residu pada spesies
ternak dan jaringan tubuh ternak ditentukan melalui uji coba atau penelitian
dengan menggunakan hewan-hewan percobaan yang peka terhadap jenis obat yang
digunakan dalam praktek. Keputusan batas-batas toleransi dan pemberian izin
produksi obat-obatan setiap saat dapat berubah apabila hasil penelitian
mengharuskannya.
D. Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang
ditambahkan dalam ransum mencegah terjadinya oksidasi lemak. Ada beberapa
bentuk antioksidan, di antaranya vitamin, mineral, dan fitokimia, seperti ethoxyquin
(6-ethoxy-1,2-dihydro-2,2,4-trimethyl-quinolin) atau BHT (Butylated
hydroxytoluen), Diphenyl-p-phenylenediamin (DPPD), namun penggunaannya sekarang
sudah dilarang karena berpengaruh buruk terhadap proses-proses reproduksi
mamalia. Vitamin E dan antioksidan lain seperti BHT atau Endox dapat menahan
peroksidasi dengan mengubahnya kembali menjadi asam lemak semula. Jika
peroksida dibiarkan berlanjut akan terjadi pemecahan menjadi aldehid dan keton.
Berbagai tipe antioksidan berkerja bersama dalam melindungi sel normal dan
menetralisir radikal bebas.
Pada umumnya formula pakan terdiri
60 - 65 % bahan bijian seperti gandum, beras, sorghum, dan jagung
dikombinasikan dengan beberapa bungkil kaya lemak. Bahan baku dengan kandungan
lemak yang tinggi seringkali menyebabkan ketengikan pada bahan baku maupun
pakan. Nilai peroksida di atas 10 dianggap tidak aman dan mengindikasikan
terjadinya ketengikan pakan. Kondisi iklim yang panas dan lembab meningkatkan
gejala ketengikan oksidatif yang terdiri atas 2 jenis yaitu :
1. Ketengikan hidrolitik
Ketengikan hidrolitik dihasilkan dari aktivitas mikro
organisma terhadap lemak menyebabkan proses hidrolisis sederhana lemak menjadi
asam lemak, di-gliserida, mono-gliserida dan gliserol. Ketengikan hidrolitik
tidak mempengaruhi nilai nutrisi.
2. Peroksidasi lemak
Peroksidasi lemak menyebabkan
pembentukan radikal bebas pada ikatan tak jenuh akibat pemisahan hidrogen dari
asam lemak tak jenuh, yang menurunkan nilai energi lemak. Reaksi dipercepat
dengan kehadiran mineral-mineral jarang yang terdapat dalam oksigen.
Ketengikan oksidatif dari lemak yang
tidak jenuh dalam pakan dapat menyebabkan kerusakan vitamin E, A dan D. Hasil
perombakan dari ketengikan dapat bereaksi dengan epsilon kelompok amino dari
lisin karena dapat menurunkan nilai biologis dan energy pakan. Untuk mencegah
terjadinya pengaruh ini dapat ditambahkan antioksidan ke dalam pakan.
Di banyak negara berkembang yang
beriklim panas dan kelembaban tinggi, masalah ketengikan oksidatif meningkatkan
morbiditas dan mortilitas, serta memperburuk konversi pakan yang mengurangi
pendapatan peternak. Pemanenan dan penyimpanan bahan baku pakan mempunyai
pengaruh yang besar terhadap stabilitas vitamin dan mineral. Penambahan
antioksidan ke dalam pakan maupun bahan bakunya dapat secara efektif mengurangi
kasus ketengikan oksidatif. Pada umumnya produsen bahan baku tidak menambahkan
atas dasar pertimbangan biaya dan penyimpanan dalam waktu lama di bawah kondisi
yang buruk seringkali menyebabkan ketengikan oksidatif pada kandungan lemaknya.
Dalam kasus yang sama, banyak vitamin dan mineral premix impor disimpan dalam
kurun waktu lama. Hanya vitamin yang stabil yang mampu bertahan terhadap
kondisi yang buruk. Langkah-langkah untuk meminimalisir tejadinya ketengikan
pada pakan :
1. Perbaiki kondisi penyimpanan misalnya ventilasi
yang membantu menyediakan udara kering dan dingin,
2. Vitamin dan mineral premiks harus disimpan terpisah
dan hanya dicampur sewaktu proses produksi pakan
3. Pakan tidak boleh disimpan lebih dari seminggu
4. Rotasi stok pakan sehingga pakan berumur tua selalu
dikonsumsi terlebih dahulu
5. Gunakan antioksidan misalnya vitamin E, BHT dan
Endox. Penambahan sodium bikarbonat dan kaolin cukup membantu. Tingkat
penggunaan dari kebanyakan antioksidan berkisar 200 - 300 g/ton untuk bahan
baku mengandung lebih dari 10 % lemak. Pakan yang ditambahkan antioksidan bisa
tahan disimpan selama 3 - 6 minggu bahkan jika disimpan pada suhu tinggi.
Daftar
Pustaka
Murwani, R.,
C. I. Sutrisno, Endang K., Tristiarti dan Fajar W. Kimia dan Toksiologi Pakan.
2002. Diktat Kuliah Kimia dan Toksiologi Pakan. Fakultas Peternakan,
Universitas Diponegoro, Semarang. (Tidak Dipublikasikan)
Wahyu, J.
1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-4. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Yuni Primandini. 2009. Additive Antibiotik Dan Antioksidan. http://harninutrisi.blogspot.com/2009/04/additive-antibiotik-and-antioksidan.html
Priyono. 2009. Zat
Additive,. http://www.ilmupeternakan.com/2009/02/additive.html
Osfar Sjofjan. 2004. ASpek Keamanan Pakan Untuk
Menghasilkan Kualitas Produk Peternakan Yang Aman.
http://disnak.jatimprov.go.id/feednet/index.php option=com_content&task=view&id=5&Itemid=22
Soeharsono. Penggunaan Hormon dalam
Produksi Ternak. http://www.jatinangor-online.com/? p=282.
2001
Bath, MK and GP Hazlewood. 2001. Enzymology and Other
Characteristics of Cellulases and Xylanases. In Enzimes in Farm Animal
Nutrition. Bedford, MR and GG Patridge (Eds). CABI Publishing. UK
Direktorat Jenderal
Peternakan. 2007. Statistik Peternakan 2007. Dirjen Peternakan
Departemen Pertanian RI.
Pugh, R and Chalfont D, 1993.
The Scope for Enzymes in Commercial Feed Formulations. In Asia Pacific
Lecture Alltech.
Richana, N. 2002.
Produksi dan Prospek Enzim Xilanase dalam Pengembangan Bioindustri di Indonesia.
Buletin AgroBio 5(1):29-36, 2002
Maenz, D.D. 2001.
Enzimatic Characteristics of Phytases as they Relate to Their Use in Animal
Feeds. In Enzimes in Farm Animal Nutrition. Bedford, MR and GG Patridge
(Eds). CABI Publishing. UK
Komentar
Posting Komentar